MASUKAN KATA DI KOTAK BAWAH INI UNTUK MENCARI.. LALU KLIK TOMBOL "SEARCH"

November 3, 2015

Surat Edaran Hate Speech Indonesia

Baca Artikel Lainnya

Pengamat: Surat Edaran 'Hate Speech' Kembali Hidupkan Orde Baru


Pengamat Politik dari Universitas Al-Azhar Rahmat Bagja menilai Surat Edaran tentang Penanganan Ujaran Kebencian atau hate speech yang dikeluarkan Kapolri Badrodin Haiti berpotensi hidupkan kembali era Orde Baru.

Padahal menurutnya, Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan pasal-pasal penghinaan presiden yang tercantum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
"Seperti pasal-pasal penghinaan terhadap presiden telah dibatalkan MK. Di KUHP ada ketika menghina presiden itu orang dipidana. Dan banyak korban di zaman orde baru," kata Bagja di Gedung DPR, Jakarta, Senin (2/11/2015).

"Surat Edaran ini bisa kembalikan lagi kita ke era orde baru. Kita jadi balik lagi ke orde baru," tambahnya.
Bagja menilai Surat Edaran terkait hate speech tidak memiliki dasar hukumnya. Dirinya mengaku heran dengan pasal penghinaan yang dulu pernah dihilangkan dan sekarang muncul kembali.
"Jadi ketika itu dihidupkan kembali melalui surat edaran, menurut saya surat edaran tidak ada cantolannya. Boleh dong orang mengkritik pemeritahan yang sedang berjalan," tuturnya.

Masih kata Bagja, adanya SE Kapolri tentang hate speech itu menimbulkan demokrasi di Indonesia. Menurutnya, proses demokrasi yang dijalankan oleh Indonesia tidak menjadi elegan.
Bagja membandingkan bagaimana Presiden Amerika Serikat Barack Obama mendapat kritik keras dari lawan politik atau masyarakat. Dan hal itu tidak menjadi masalah di negari Paman Sam tersebut.
"Kritik keras dari para orang Republik terhadap Obama sangat keras. Mereka bakar patung Obama dan sepanjang tidak bakar bendera AS ya tidak ada masalah," tuturnya.

Poin-poin Isi Surat Edaran (SE) Nomor SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (hate speech)


*

Laman Jpnn memuat, Surat Sesuai salinan SE yang diterima wartawan dari Divisi Pembinaan dan Hukum Polri, Kamis (29/10) pada Nomor 2 huruf (f) SE itu disebutkan bahwa ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP.
Bentuknya antara lain penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, menyebarkan berita bohong dan semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial.
Pada huruf (g) disebutkan bahwa ujaran kebencian sebagaimana dimaksud di atas, bertujuan untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan atau kelompok masyarakat dalam berbagai komunitas yang dibedakan dari aspek suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan atau kepercayaan, ras, antargolongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel dan orientasi seksual.
Pada huruf (h) selanjutnya disebutkan bahwa “ujaran kebencian dapat dilakukan melalui berbagai media, antara lain misalnya dalam orasi kegiatan kampanye, spanduk atau banner, jejaring media sosial, penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi), ceramah keagamaan, media masa cetak atau elektronik dan pamflet.
Pada nomor 3 SE itu, diatur prosedur kepolisian polisi dalam menangani perkara tersebut. Pertama, setiap personel Polri diharapkan mempunyai pemahaman dan pengetahuan mengenai bentuk-bentuk kebencian.
Kedua, personel Polri diharapkan lebih responsif atau peka terhadap gejala-gejala di masyarakat yang berpotensi menimbulkan tindak pidana.
Ketiga, setiap personel Polri melakukan kegiatan analisis atau kajian terhadap situasi dan kondisi di lingkungannya. Terutama yang berkaitan dengan perbuatan ujaran kebencian.
Keempat, setiap personel Polri melaporkan ke pimpinan masing-masing terhadap situasi dan kondisi di lingkungannya, terutama yang berkaitan dengan perbuatan ujaran kebencian.
Apabila ditemukan perbuatan yang berpotensi mengarah ke tindak pidana ujaran kebencian, maka setiap anggota Polri wajib melakukan tindakan. Antara lain memonitor dan mendeteksi sedini mungkin timbulnya benih pertikaian di masyarakat, melakukan pendekatan pada pihak yang diduga melakukan ujaran kebencian.
Kemudian, mempertemukan pihak yang diduga melakukan ujaran kebencian dengan korban ujaran kebencian, mencari solusi perdamaian antara pihak-pihak yang bertikai dan memberikan pemahaman mengenai dampak yang akan timbul dari ujaran kebencian di masyarakat.
Terakhir, jika tindakan preventif sudah dilakukan namun tidak menyelesaikan masalah, maka penyelesaiannya dapat dilakukan melalui upaya penegakan hukum sesuai dengan KUHP, UU nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Kemudian, UU nomor 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2013 tentang Teknis Penanganan Konflik Sosial.



references by trribun, jpnn

 
Like us on Facebook